http://exhodjahyo22.blogspot.co.id/ OJO LALI PINARAK MALIH BLOG MAS KODOK MALIH

Senin, 11 Maret 2019

MAKALAH PENYELENGGARAAN PERADILAN AGAMA di INDONESIA, PERADILAN AGAMA DI INDONESIA


PENYELENGGARAAN PERADILAN AGAMA di  INDONESIA
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
“Peradilan Agama di Indonesia”

Disusun oleh  :
     Listyani Maghfiroh      (210214052)
Nur Sofya Noviana (210214036)
Nur Wahid  (2102140     )

Kelas SM. B

Dosen Pengampu :
Ahmad Syafi’i SJ

JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2016


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang Undang dasar 1945 pasal 1 Ayat (3) yang menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Hal ini menunjukan betapa pentingnya fungsi lembaga peradilan di Indonesia. Suatu Negara dapat dikatakan sebagai Negara hukum dapat diukur darai pandangan bagaimana hukum itu diperlukan. Apakah ada sistem peradilan yang baik dan tidak memihak serta bagaimana bentuk bentuk pengadilannya dalam menjalankan fungsi peradilan.
            Oleh karena itu untuk mewujudkan suatu keadilan, ketertiban, kebenaran dan kepastian hukum dalam sistem penyelenggaraan hukum demi terciptanya suasana kehidupan yang aman, tertib, dan tentram. Maka dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakkan hukum dan keadilan dengan baik.
            Salah satu lemabaga untuk menegakkan hukum dan mencapai keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum adalah badan badan peradilan sebagaimana yang dimaksud dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang masing masing mempunyai lingkup kewenangan mengadili perkara atas sengketa dibidang tertentu dan salah satunya adalah Badan Peradilan Agama.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah peradilan agama di Indonesia ?
2.      Bagaimana prinsip prinsip peradilan agama di Indonesia ?
3.      Bagaimana konsep dasar peradilan agama di Indonesia ?







PEMBAHASAN

A.     Sejarah Peradilan Agama di Indonesia
Ø  Masa Awal Pemelukan dan kerajaan-Kerajaan Islam
Peradilan di Indonesia sudah ada sejak abad ke tujuh ataupun kedelapan masehi,sesuai dengan tingkat(tahapan) dan bentuknya sebagaimana ditentukan oleh hukum islam. Pertumbuhan dan perkembangannya di Indonesia bersamaan dengan tahapan perkembangan islam dan umatnya, yakni islam masih dianut oleh orang-orang secara sendiri-sendiri. Tahapan berikutnya, terbentuknya komunitas masyarakat islam yang sudah teratur di berbagai wilayah,tetapi belum sampai kepada masyarakat islam yang berpemerintah.
Dalam keadaan islam masih di peluk sendiri-sendiri, peradilan agama pada saat iti masih berbentuk Tahkim.Sedangkan dalam komunitas masyarakat yang telah teratur, tetapi belum sampai pada bentuk masyarakat yang mempunyai pemerintahan, pembentukan dan pengakatan suatu peradilan dan jabatan hakimnya dapat dilakukan secra musyawarah dan pemilihan serta bai’at Ahlul Hilli Wal Aqdli.
Perkembangan selanjutnya islam sebagai agama dan hukum semakin mengakar dan dominan mewarnai seluruh kehidupan sebagai besar bangsa ini. Kenyataan ini mulai berlaku sejak islam ditetapkan sebagai agama resmi pada Kerajaan Pasai dan Demak sekitar abad tiga belas dan lima belas. Dalam keaadaan seperti ini, bentuk perdilannya pun sudah tidak berbentuk Tahkim seperti pada awal-awal pemelukan islam, melainkan sudah meningkat kepada bentuk peradilan(Qodla).
Ø  Masa Pemerintahan Kolonial
Ketika Kolonial Belanda mulai memasuki Indonesia melalui VOC, yakni sebuah wadah dagang yang telah mengarahkan sasarannya untuk menjelajah Nusantara,tidak dapat menyepelekan eksitensi Hukum Islam yang telah berakar-akar dilaksanakan oleh masyarakat islam di Indoesia. Meskipun VOC akhirnya kokoh mencengkram dan bahkan selanjutnya menjajah Nusantara ini, tidak mampu menekan dan membendung pelaksanaan Hukum Islam yang menjadi keyakinan hidup.
Campur tangan Pemerintah Kolonial dengan peradilan Agama(pelaksanaan hukum pedata islam) baru dimulai pada tahun 1802M, sebagaimana tertuang pada Stbl. 1820 No, 24 pasal 13 yang diperjelas oleh Stbl 1835 no 58
Meskipun Peradilan Agama tealah diatur secara formal sebagai pengadilan Negara sebagai halnya pengadilan Gubermen,tetapi pada kenyataanya  ia telah didudukan sacara sama. Untuk peradilan Gubermen, disediakan anggaran secukupnya dan pegawainya pun digaji oleh Negara, sedangkan Pengadilan agama tidak,kecuali ketuanya.[1]
Ø  Masa sesudah kemerdekaan
Atas usul Depatermen Agama yang disetujui oleh mentri kehakiman, pemerinta menetapkan bahwa peradilan agama yang selama ini bernaung dibawah kekuasaan kementrian kehakiman diserahkan kepada kementrian agama berdasarkan ketetpan pemerintahan No.5/SD tgl 25 maret 1946.[2]
Sederhananya, status da keduduka peradilan agama dalam UU No.19 tahun 1948 tidak diakui sebagai peradilan yang sah di Indonesia. Eksitansi badan peradilan selama masa kekuasaan orde lama, faktanya juga belum mengarah pada bentu yang ideal yakni mandiri dan independen, terbtas dari intervensi kekuatan politik
 seraekstra yudisial lainnya. Sebab, pada saat itu intervensi kekuasaan lain yakni eksekutif,terhadap lembaga peradilan sangat kuat,sehingga lembaga peradilan sama sekali tidak memiliki kemandirian yang independensi
Namun terlepas dari kekurangannya, setidaknya UU No, 7 tahun 1989 telah mengubah paradigma dan pandangan terhadap peradilan agama. UU No 7 tahun 1989 merupakan starting point peradilan agama untuk menuju era baru, dimana harkat dan martabatnya dihargai secara proposional sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan. Sejak saat itu, peradilan agama mulai dianggap sebagai  lembaga peradilan yang sebenarnya.
Meskipun demikian, lahirnya UU NO 3 thun 2006 telah membawa perubahan besar bagi kompetensi peradilan Agama, dalam UU NO 3 tahun 2006tersebut, kompetensi peradilan agama diperluas dengan memasukan antara lain ekonomi syariah sebagai saah satu kompetensinya, Artinya, UU No 3 tahun 2006 ini menegaskan secara eksplisit bahwa masalah ekonomi sariah telah menjadi kompetensi absolute peradilan agama.[3]
Ø  Masa Pemerintahan Orde Baru
Pada awal pemerintahan orde baru tindakan pertama yang harus dilakukan dalam rangka penaataan pelaksanaan kekeuasaan kehakiman secara murni berdasarkan kehendak UUD 1945, sesuai ketentuan ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 JO. No XXXIX/MPRS/1968, Pemerinth bersama-sama DPRGR telah mmenggadakan peninjauan terhadap undang-undang No, 19 tahun 1964, peninjauan ini menginggat undang-undang tersebut tidak mencerminkan pelaksanaan secara umum.dari pada pancasila dan undang-undang dasar 1945. Bahkan, isinya banyak yang bertentangan dengannya. Untuk itu, hasil dari peninjauan tersebut melahirkan undang-undang No. 6 tahun 1969 yang menghendakki adanya suatu undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang baru(penggantinya).sebagai realisasinya, pada tanggal 17 desember 1970 telah dapat disahkan dan diundangkan suatu undang-undang yang baru tentang hal itu berupa undang-undang No. 14 tahun 1970.
Sejalan dengan meningkatnya pengetahuaan dan kesadaran hokum masyarakat, kasasi atas perkara-perkara yang diutus oleh pengadilan agama mulai masuk ke Mahkamah Agung, sementara hokum acara yang harus dimilikinya tentang hal itu sesuai kehendak pasal 12 undang-undang No 14 tahun 1970 belum ada. Sementara Mentri agama telah mengeluarka keputusan No 6 tahun 1980  pada tanggal 28 Januari 1980. Berdasarkan kepputusan tersebut, untuk pengadilan tingkat pertama bernama Pengadilan Agama dan untuk Pengadilan tingkat bandingnya bernama Pengadilan Tinggi Agama. Dengan demikian, nama-nama Mahkamah Islam Tinggi, kerapatan kadi dan Kerapatan Kadi Besar maupun Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah di propinsi sudah tidak digunakan lagi. Dan Pengadilan agama sebagai sallah satu lingkungan Peradilan dalam jajajran kekuasaan kehakiman di Negara kita, pada tanggal 27 Maret 1982 presiden Republik Indonesia telah mengangkat seorng ketua muda Mahkamah Agung urusan lingkungan Peradilan Agama.

Ø  Masa Pemerintahan Reformasi Pembangunan
Sepanjang pemerintahan orde baru, keberadaan lembaga peradilan agama sebagai satu pelaksana kekuasaan kehakiman(demikian juga lembaga-lembaga peradilan lainnya), pembinaan dan pengawasannya dilakukan oleh dua lembaga, yakni Yudikatif dan Eksekutif. Disatu sisi masalah pembinaan tekhnis dilalukan oleh mahkamah Agung, dan disisi lain masalah Organisasi, Administrasi dan keungan Badan Peradilan Agama pembinaannya dilakukan oleh Departemen Agama.
Sejalan dengan derasnya arus reformasi disegala bidang termasuk tuntutan reformasi bidang kekuasaan kehakiman yang berakibat mundurnya pemerintahan presiden Soeharto pada tanggal 21 mei 1998 dan naiknya pemerintahan Presiden Habibie, Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam sidang istimewanya, melahirkan ketetapan majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ( TAP MPR RI) Nomor X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan Negara.
Pemisahan kekuasaan eksekutif dan Yudikatif(Departemen agama dari badan peradilan agama), yang diatur/ dikehendaki undang-undang No 35 tahun 1999 tersebut, tidak lain dalam rangka memantapkan posisi lembaga peradilan agama pada segi hokum foremal dan teknis peradilan sehingga terwujud kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan terselenggaranya peradilan yang bebas dari pengaruh dan interfensi kekuasan eksekutif.
Meskipun demikian, ternyata realisasi kehendak undang-undang tersebut yakni terlepasnya kekuassan eksekutif atas badan peradilan agama dan badan –badan peradilan lain dibidang keuangan, organisasi dan vinancial,bukanlah hal yang mudah yang langsung dapat dilaksanakn dengan diundangkan, undang-undang tersebut. Akan tetapi, dalam pelakksanaanya terdapat tarik ulur antara eksekuti dan yudikatif, sehingga sampai penulisan  buku ini keadaannya masih tetap seperti semula.[4]


B.     Konsep konsep dasar
·         Peradilan
·         Pengadilan
·         Pengadilan Agama
·         Hakim
·         Hukum Acara Perdata


1.      Peradilan
Berasal dari akar kata ‘adil tidak memikat tidak berat sebelah. Yaitu proses mengadili atau suaru upaya untuk mencari keadilan atau penyelesaian sengketa hukum dihadapan badan peradilan menurut peraturan yang berlaku. Menurut Cik Hasan Bisri pengadilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan.  Peradilan (Al- Qadha/Rechtspraak).
Ø  Al Qadha (Bahasa Arab) adalah :
Menyampaikan hukum syar’i dengan jalan penetapan dan menrupakan kekuasaan mengadili perkara.
Ø   Rechtspraak (Basaha Belanda) adalah :
Daya upaya untuk mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dan dalam lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan.
Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (Ps 1 butir 1 UU 7/1989) “Orang-orang” = Orang/Badan Hk yg menundukan diri pd Hk Islam. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini (Ps 2 UU 3/2006). Pelaksana Pelaku Perkara perdata tertentu Perkara tertentu Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (Ps 1 UU No4/2004)

2.      Pengadilan
               Pengadilan adalah : Suatu lembaga (instansi) tempat mengadili atau menyelesaikan sengketa hukum di dalam rangka kekuasaan kehakiman, yang mempunyai kewenangan absolut dan relatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menentukannya
Menurut Cik Hasan Bisri Pengadilan adalah Badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan.

3.      Pengadilan Agama
Pengadilan Agama adalah badan peradilan agama pada tingkat pertama yang berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Badan peradilan agama tingkat banding adalah Pengadilan Tinggi Agama yang berkedudukan diibu kota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi ( Pasal I angka 3 UU No. 3 Th 2006).

4.      Hakim
Hakim adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan dan persengketaan. Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman (Ps 11 ayat 1 UU No 7 Th 1989). Hakim pengadilan (UU No. 3 Th 2006)

5.      Hukum Acara Perdata
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini (Ps 54 UU 7/1989). Pada Ps 2 UU 3/2006 tidak disebutkan jenis perkaranya, hanya disebutkan perkara tertentu. Hal ini berbeda dengan Ps 2 UU 7/1989 yang menyebutkan jenis perkaranya adalah perkara perdata tertentu.[5]


C.     Prinsip-prinsip peradilan agama
Negara-negara modern melaksanakan kepentingannya dengan menggunakan tiga kekuasaan, yaitu :
·         kekuasaan perundang undangan/as-sulthoh at-tasyri’iyyah yang berwenang membuat undang undang.
·         Kekuasaan eksekutif/as-sulthoh at-tanfidziyyah yang bertugas melaksanakan undang undang.
·         Kekuasaan kehakiman/as-sulthoh al-qodlo’iyyah yang berwenang menerapkan undang undang untuk menyelesaikan perselisihan dan menegakkan keadilan di antara manusia.
Kita lihat bahwa kekuasaan peradilan/kehakiman itu terpisah dari dua kekuasaan yang lain. Ini berarti bahwa kedua kekuasaan/lembaga lainnya tidak diperkenankan mengintervensi/ ikut campur dalam perkara-perkara atau urusan peradilan. Teori pemisahan kekuasaan ini memunculkan prinsip-prinsip penting dalam peradilan Islam yang jumlahnya ada delapan (8) yaitu:
1. Istiqlal al-qodlo’ (kemerdekaan kehakiman)
2. Al-Musawah amamal qodlo’(kesamaan di hadapan hukum)
3. Majjaniyatul qodlo’ (peradilan gratis)
4. At-taqodli ‘ala darojatin aw al-isti;naf (upaya hukum naik banding)
5. Al-qodlo’ fil Islam yaqumu ‘ala nidhomi al-fard (kehakiman Islam menerapkan aturan hakim tunggal)
6.’Alaniyatu majlisil qodlo’ (sidang peradilan yang terbuka)
7. hushulul ijro’at fi muwajahatil khushum (mempertemukan pihak yang berselisih)
8. sulthotul qodli fil fiqhi al-islamiy (kekuasaan kehakiman dalam fikih islam)[6]



PENUTUP
Kesimpulan
1.      Sejarah Peradilan Agama di Indonesia :
Ø  Masa Awal Pemelukan dan kerajaan-Kerajaan Islam
Ø  Masa Pemerintahan Kolonial
Ø  Masa sesudah kemerdekaan
Ø  Masa Pemerintahan Orde Baru
Ø  Masa Pemerintahan Reformasi Pembangunan
2.      Konsep konsep dasar : Peradilan, Pengadilan, Pengadilan Agama, Hakim dan Hukum Acara
2.  Prinsip prinsip peradilan agama :
                1. Istiqlal al-qodlo’ (kemerdekaan kehakiman)
2. Al-Musawah amamal qodlo’(kesamaan di hadapan hukum)
3. Majjaniyatul qodlo’ (peradilan gratis)
4. At-taqodli ‘ala darojatin aw al-isti;naf (upaya hukum naik banding)
5. Al-qodlo’ fil Islam yaqumu ‘ala nidhomi al-fard (kehakiman Islam  menerapkan aturan hakim tunggal)
6.’Alaniyatu majlisil qodlo’ (sidang peradilan yang terbuka)
7. hushulul ijro’at fi muwajahatil khushum (mempertemukan pihak yang berselisih)
8. sulthotul qodli fil fiqhi al-islamiy (kekuasaan kehakiman dalam fikih islam)












DAFTAR PUSTAKA
Hamami, Taufik, Kedudukan dan Eksistansi Peradilan Agama Dalam Sistem Tata hukum di    Indonesia,(Bandung:anggota Ikapi,2003)
Halim ,Abdul, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia,(Jakarta:Raja Grafindo Persada,2000)
Hasan, Hasbi, Kompetensi Peadilan Agama dalam Penyelesaian Perkara Ekonomim Syriah(Jakarta:Gramata Publising , 2010)
http//:pradiga-konsep-dasar-pradiga-di-indonesia.ppt
peradilandiindonesia.blogspot.co.id/2012/03/prinsip-dan-unsur-peradilan-islam.html?m=1








[1] Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistansi Peradilan Agama Dalam Sistem Tata hukum di Indonesia,(Bandung:anggota Ikapi,2003)15-22.
[2] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia,(Jakarta:Raja Grafindo Persada,2000),69
[3] Hasbi Hasan, Kompetensi Peadilan Agama dalam Penyelesaian Perkara Ekonomim Syriah(Jakarta:Gramata Publising , 2010), 45-69      
[4] Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistansi Peradilan Agama Dalam Sistem Tata hukum di Indonesia,(Bandung:anggota Ikapi,2003), 26

[5]http//:pradiga-konsep-dasar-pradiga-di-indonesia.ppt

[6] peradilandiindonesia.blogspot.co.id/2012/03/prinsip-dan-unsur-peradilan-islam.html?m=1



MAKALAH SEWA MENYEWA (IJARAH) (AL-KAHFI AYAT 94 DAN AL-QASHAS AYAT 27). TAFSIR AHKAM 2


SEWA MENYEWA (IJARAH)
(AL-KAHFI AYAT 94 DAN AL-QASHAS AYAT 27)
                   Makalah ini di ajukan untuk memenuhi salah satu mata kuliah
“TAFSIR AHKAM 2”






Disusun oleh :
              NUR SOFYANOVIANA (210214036)
Dosen Pengampu :
Dr. Luthfi Hadi Aminuddin, M. Ag
KELAS SM.B
PROGRAM STUDI MU’AMALAH
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAIN) PONOROGO
2016



PENDAHULUAN


Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam mu’amalah adalah sewa menyewa atau yang biasanya disebut dengan ijarah, ijarah juga sering disebut dengan upah atau imbalan. Dalam kitab fiqh, ijarah biasa diartikan dengan sewa menyewa, namun ijarah janganlah diartikan dengan sewa menyewa yang di ambil manfaatnya, tetapi juga harus dipahami lebih luas.
Sewa menyewa adalah imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang telah dberikan. Jasa disini berupa pemberian tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan. Pada surat al-Kahfi ayat 94 menjelaskan segolongan manusia yang selalu gelisah mendapat serbuan dari Ya’juj dan Ma’juj, Zulkarnain diminta tolong untuk membuatkan benteng penghalang yang membuat kerusakan yang mampu dan dapat melindungi dari serbuan Ya’juj dan Ma’juj.
Sedangkan dalam surat al-Qashas ayat 27 menjelaskan bahwa seorang laki-laki yang berasal dari kaum Fir’aun yang berimpati kepadanya, untuk berbalas budi kepada Musa yang telah menolong dua orang perempuan yang sedang mengambil air minum dan memberi minum kepada binatang ternak. Dan kedua anak perempuan tersebut lalu bercerita kepada orang tuanya dan orang tuanya berkata kepada Musa untuk mengawini salah satu dari anaknya. Sebagai mahar perkawinannya Musa harus bekerja selama delapan sampai sepuluh tahun sebagai pembantu menggembala binatang ternak.


1.      Bagaimana teks ayat dan terjemahan dari surat al-Kahfi ayat 94 dan al-Qashas ayat 27 ?
2.      Bagaimana kosa kata dari surat al-Kahfi ayat 94 dan al-Qashas ayat 27 ?
3.      Bagaimana asbab al-nuzuldari surat al-Kahfi ayat 94?
4.      Bagaimana Munasabah dari surat al-Kahfi ayat 94 dan al-Qashas ayat27?
5.      Bagaimana kandungan dari surat al-Kahfi ayat 94 dan al-Qashas ayat 27?


PEMBAHASAN
A.    Syariat dibolehkannya sewa (al- Kahfi ayat 94 dan al-Qasas ayat 27)
1.      al-Kahfi Ayat 94
a.       Teks ayat
قَالُوا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَى أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا[1]
Terjemah ayat
Artinya : “Mereka berkata: "Hai Dzulkarnain, Sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, Maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?”[2]

b.      Penjelasan Kosa Kata (Ma’na al-Mufradat)[3]
Kami jadikan
            نَجْعَلُ
Mereka Berkata
قَالُوْا
Kepada kamu
لَكَ
Wahai Zulkarnain
يَذَا الْقَرْنَيْنِ
Upeti atau pembayaran
خَرْجًا
Sungguh
اِنَّ
Atas
عَلَى
Ya’juj
يَأْجُوْجَ
Bahwa
اَنْ
Dan Ma’juj
وَمَأْجُوْجَ
Kamu jadikan
تَجْعَلَ
Orang-orang pembuat kerusakan
مُفْسِدُوْنَ
Antara kami
بَيْنَنَا
Di
فِى
Dan antara mereka
وَبَيْنَهُمْ
Muka bumi
اْلاَرْضِ
Tutup dinding
سَدًّا
Maka apakah 
فَهَلْ

c.       Sebab turunnya ayat (Asbab al-Nuzul)
Orang-orang kafir Quraisy pernah mengutus delegasi kepada orang-orang Yahudi untuk bertanya, apa yang harus mereka tanyakan kepada Muhammad untuk menguji kebenaran kenabiannya. Mereka berkata “ Coba tanyakan kepada Muhammad tentang sekelompok laki-laki yang pernah mengelilingi dunia dan tentang seorang pemuda yang tidak diketahui apa yang mereka perbuat, dan tentang hakikat ruh.”[4]
d.      Munasabah
Pada ayat- dari khidir yang memperoleh ilmu ladunni dari Allah sehingga berbagai perbuatannya tidak dipahami oleh Musa. Maka pada ayat-ayat ini ayat yang lalu dijelaskan tentang kisah Nabi Musa menuntut ilmu diterangkan tentang kisah Zulkarnain dan Ya’juj dan Ma’juj, sebagai jawaban atas permintaan musyrikin Mekkah yang meragukan kenabian Nabi Muhammad.[5]
e.       Kandungan surat
Al-Qasimi mengutip Ibn Hazm mengatakan bahwa kitab-kitab Yahudi sudah menyebutkan tentang Ya’juj dan Ma’juj. Mereka percaya tentang kisah ini, begitu juga orang-orang Nasrani, Aristoteles juga sudah menyinggung soal Ya’juj dan Ma’juj dan dinding penyekat itu.
Mengenai hal tersebut, Yusuf  Ali menguraikan bukti sejarah dan geografis yang kuat sekali. Pembahasannya mengenai persoalan Ya’juj dan Ma’juj ini serta penyekat besi yang didirikan untuk membendung mereka cukup menarik. Nama Ya’juj dan Ma’juj untuk melambangkan suku-suku liar yang tak kenal hukum, yang telah merusak dinding-dinding penyekat-penyekat dan mereka meluncur turun ketanah datar. Ini merupakan salah satu tanda-tanda dekatnya kiamat.
Pada dasarnya memang sudah disepakati bahwa mereka adalah suku-suku buas di Asia Tengah yang menyerang kerajaan-kerajaan yang sudah teratur diberbagai tempat dalam sejarah dunia. Kerajaan Cina sudah pernah mengeluh karena serangan mereka sehingga ia mendirikan tembok Cina untuk membendung orang-orang Manchu dan Mongol. Pada saat itu, mereka melalui juru bicaranya, berkata “Wahai Zulkarnain sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj oleh sebagian peneliti ditengarai sebagai bangsa Tartar dan Mongol, sangat membuat kerusakan dimuka bumi dengan pembunuhan, perampasan dan segala macam keganasan, maka bersedialah kamu menerima sesuatu upah dari kami yang kami kumpulkan dari harta benda kami supaya kamu membuat benteng untuk menjaga kami dari serbuan mereka. “ Zulkarnain menjawab : apa-apa yang telah Allah karuniakan kepadaku yaitu ilmu, pengetahuan yang cukup, kerajaan yang besar, kekuasaan yang luas dan kekayaan yang melimpah ruah itu adalah lebih baik dari pada upah yang kamu sodorkan kepada ku, maka kami ucapkan terimakasih atas segala kebaikanmu itu dan aku hanya memerlukan bantuan kekuatan tenaga manusia dan alat-alat agar aku dapat membuat benteng antara kamu dan mereka.[6]
Dari cerita diatas tentang rakyat yang meminta bantuan kepada Raja Zulkarnain untuk membuatkan benteng agar terhindar dari gangguan Ya’juj dan Ma’juj yang merusak bumi, dan sebagai imbalannya rakyat memberi kompensasi pembayaraan upeti setiap tahun.
Dalam cerita tersebut terdapat pratek ijarah atau sewa menyewa, sedangkan ijarah sendiri dibagi menjadi 2, yaitu sewa menyewa dalam hal barang dan upah mengupah dalam hal jasa. Ijarah mempunyai rukun-rukunnya, yaitu antara lain :
Sewa menyewa dalam hal barang
Sewa menyewa dalam hal jasa
-          Penyewa (Musta’jir)
-          Yang menyewakan (Mu’jir)
-          Upah (Ujroh)
-          Akad
-          Objek akad (Ma’jur)
-          Penyewa jasa ( Musta’jir)
-          Penyedia jasa ( Ajir)
-          Upah (Ujroh)
-          Akad
-          Objek akad (Ma’jur)


                        Unsur-unsur ijarah dalam kisah Raja Zulkarnain
v  Penyewa (Musta’jir) : penduduk
v  Yang menyewakan (A’jir) : Raja Zulkarnain
v  Upah (Ujroh) : imbalan upeti
v  Akad : kami membayar
v  Objek akad (Ma’jur) : benteng atau dinding penghalang

















2.      Al-Qashas ayat 27
a.       Teks ayat
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ[7]
Terjemah ayat
Artinya : “Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik".

b.      Penjelasan Kosa Kata (Ma’na al-Mufradat)[8]
Sepuluh
عَسْرًا
Dia (Syu’aib Madyan)
قَالَ
Maka itu da
فَمِنْ
Sungguh aku
إِنَّ
Sisimu kemauan mu
عِنْدِكَ
Bermaksud
اُرِيْدُ
Dan tidak
وَمَا :
Untuk
  اَنْ
Aku bermaksud
اُرِيْدُ
Menikahkan kamu
اُنْكِحَاكَ
Bahwa
اَنْ
Salah seorang
اِحْدَى
Aku memberatkan
اَشُقَّ
Kedua anak perempuan ku
ابْنَتَيَ
Atas kamu :
عَلَيْكَ
Ini
  هَتَيْنِ
Kamu akan mendapatkan
سَتَجِدُنِيْ
Atas
عَلَى
Jika
اِنْ
Bahwa
اَنْ
Menghendaki
شَأَ
Kamu ambil upah pada ku
تَأْجُرَنِيْ
Allah
اَللَّهُ
Delapan
ثَمَنِيَ
Dari termasuk
مِنَ
Tahun
حِجَجٍ
Orang-orang saleh/baik
الصَّلِحِيْنَ
Maka jika
فَاِنْ


Kamu sempurnakan
اَتْمَمْتَ

c.       Munasabah
Pada ayat-ayat yang lalu, Allah menerangkan bahwa Musa telah membunuh seorang penduduk asli Mesir,kaum Fir’aun, karena ingin menolong seorang Bani Israil. Berita mengenai pembunuhan yang pernah dilakukannya itu tersiar luas kesemua pelosok negeri Mesir dan akhirnya sampai ketelinga Fir’aun. Oleh karena itu, Fir’aun bermusyawarah dengan para pembesarnya, apakah tindakan yang akan diambil terhadap Musa karena perbuatannya itu. Semua yang hadir mengusulkan supaya Musa dibunuh saja dan usul itu diterima oleh Fir’aun dan akan dilaksanakan secepat mungkin. Kebetulan di antara yang hadir dalam pertemuan itu ada seorang yang beriman dan bersimpati kepada Musa. Pada ayat-ayat berikut ini, Allah menerangkan bahwa orang yang mengetahui rencana pembunuhan Musa itu menyampaikan kesepakatan itu kepada Musa dan menasehatinya agar segera meninggalkan Mesir. Oleh sebab itu, berangkatlah Musa meninggalkan Mesir menuju kenegeri Madyan yang terletak disebelah timur Mesir.[9]
d.      Kandungan Ayat
Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa Musa menolong dua gadis yang mengambil air minum dari sumber mata air dikota Madyan dan memberikan minuman kepada ternak mereka. Setelah beberapa hari kemudian salah seorang dari kedua gadis itu mengataakan bahwa orang tuanya mengundang Musa kerumahnya untuk menerima balasan atas jasa baik yang diberikannya. [10]
Kemudian Musa datang kerumah itu, lalu tidak lama kemudian Musa di ajak bicara oleh orang tua itu, “ Berkata dia : “sesungguhnya aku ingin hendak mengawinkan engkau dengan salah seorang anak perempuan ini.” Tidaklah jelas sejak semula yang manakah diantara kedua anak perempuan itu yang disebutkan oleh orang tua itu. Yang terpenting dalam ayat ini adalah bahwa Musa kawin  dengan salah seorang dari kedua anak perempuan orang Madyan itu. “ Atas (janji) engkau bekerja delapan tahun dan jika engkau senang sampai sepuluh tahun, itu adalah terbit dari sisi engkau sendiri.” Tegasnya adalah bahwa engkau aku nikahkan dengan salah seorang anakku ini, maharnya atau mas kawinnya bukanlah harta benda melainkan tenaga engkau sendiri, yaitu menggembalakan ternak kami delapan tahun sekurang-kurangnya, tetapi kalau hendak cukupkan sepuluh tahun dari kesukaan mu diri sendiri, saya akan senang sekali menerimanya. “Dan tidaklah aku hendak memberati engkau”.
Janji pembayaran mas kawin dengan cara bilangan tahun ini sungguh bijaksana sekali. Sebab musa adalah seorang yang tengah membuang diri ke Madyan. Kalau dia segera pulang ke Mesir jiwanya akan bahaya. Kalau dia berdiam di Madyan sekian tahun, semoga ada perubahan yang akan terjadi di Mesir dalam tahun tahun yang dia lalui itu. Kalau terjadi perubahan dalam delapan tahun, dia boleh segera pulang, kalau belum dia boleh menggembala ternak dua tahun lagi. Lalu orang tua itu berkata lagi “ Dan tidaklah aku hendak memberati engkau”, artinya moga-moga pekerjaan ini menyenangkan hati mu dan jangan engkau bimbang dengan daku, sebab aku majikan “induk semang”. “Akan engkau dapati aku” Insha Allah.[11]
Praktik ijarah yang terdapat dalam kisah Nabi Musa dan Nabi Syu’aib, unsur-unsurnya adalah :
v  Penyewa jasa (Musta’jir) : Nabi Syu’aib
v  Yang menyewakan (Mu’jir) : Nabi Musa
v  Upah (Ujroh) : gaji 8 tahun
v  Objek akad (Ma’jur) : menggembala kambing
v  Akad : dalam kisah ini terdapat dua (2) akad yaitu menikahkan dan ijarah.













KESIMPULAN
·         Sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj adalah bangsa Tartar dan Mongol yang membuat kerusakan dimuka bumi dengan pembunuhan, perampasan dan segala macam keganasan, maka Zulkarnain diminta untuk membuat benteng antara dua bukit belakang sungai Jihun dekat kota Tirmiz yang dapat melindungi mereka dari serbuan Ya’juj dan Ma’juj, akan tetapi Zulkarnain tidak mau menerima upah atau imbalan, Zulkarnain hanya meminta bantuan tenaga dan alat-alat yang dibutuhkannya serta bahan-bahannya.
·         Menjelaskan bahwa seorang laki-laki dari kaum Fir’aun yang berimpati kepada dua orang perempuan dan binatang ternaknya menunggu kesempatan untuk mengambil air, lalu Musa bertanya kepada mereka mengapa tidak ikut mengambil air, dan keduanya menjawab bahwa mereka tak berdaya untuk berdesak-desakan dengan para lelaki. Musa lalu menolong kedua gadis itu mengambil air dan memberi minum kepada ternak mereka. Salah seorang gadis tersebut mengatakan kepada orang tuanya, lalu orang tuanya mengundang Musa kerumah untuk menerima balasan  atas jasa baik yang diberikan dan orang tua kedua putri tersebut mengatakan kepada Musa untuk mengawini salah satu dari kedua putrinya, sebagai mahar perkawinannya Musa harus bekerja selama delapan sampai sepuluh tahun.
·         Dalam cerita tersebut terdapat pratek ijarah atau sewa menyewa, sedangkan ijarah sendiri dibagi menjadi 2, yaitu sewa menyewa dalam hal barang dan upah mengupah dalam hal jasa. Ijarah mempunyai rukun-rukunnya, yaitu antara lain :


Sewa menyewa dalam hal barang
Sewa menyewa dalam hal jasa
-          Penyewa (Musta’jir)
-          Yang menyewakan (Mu’jir)
-          Upah (Ujroh)
-          Akad
-          Objek akad (Ma’jur)
-          Penyewa jasa ( Musta’jir)
-          Penyedia jasa ( Ajir)
-          Upah (Ujroh)
-          Akad
-          Objek akad (Ma’jur)
























DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto, Achmad. Al-Qur’an Sahabat. Klaten : CV. Sahabat, tt.

Hamka. Tafsir Al-Azhar hal. 20. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983.

Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an. Terj. As’ad Yasin Juz 9. Jakarta.

Rahawin, Sayuti. Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta : Al-Mawardi Prima, 2002.

RI, Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta : Departemen Agama RI, 2009.



[1]Sayuti Rahawarin, Ayat-Ayat al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta : Al-Mawardi Prima, 2002) 520.
[2]Ibid.
[3]Achmad Budiyanto, Al-Qur’an Sahabat (Klaten : CV. Sahabat, t.th), 303.
[4]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), 20.
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Sayuti Rahawarin, Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Terjemahannya, 280.
[8]Ibid.
[9]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta : Departemen Agama RI, 2009), 282.
[10]Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an, Terj. As’ad Yasin, Juz 9 (Jakarta : Gema Insani, 2004), 41.
[11]Hamka, Tafsir Al-Azhar, juzu’ XX (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983), 75.