PENYELENGGARAAN PERADILAN AGAMA di INDONESIA
Makalah ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
“Peradilan
Agama di Indonesia”
Disusun
oleh :
Listyani Maghfiroh (210214052)
Nur Sofya
Noviana (210214036)
Nur Wahid (2102140
)
Kelas SM. B
Dosen Pengampu
:
Ahmad Syafi’i SJ
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2016
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang Undang
dasar 1945 pasal 1 Ayat (3) yang menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah
Negara hukum. Hal ini menunjukan betapa pentingnya fungsi lembaga peradilan di
Indonesia. Suatu Negara dapat dikatakan sebagai Negara hukum dapat diukur darai
pandangan bagaimana hukum itu diperlukan. Apakah ada sistem peradilan yang baik
dan tidak memihak serta bagaimana bentuk bentuk pengadilannya dalam menjalankan
fungsi peradilan.
Oleh karena itu untuk mewujudkan
suatu keadilan, ketertiban, kebenaran dan kepastian hukum dalam sistem penyelenggaraan
hukum demi terciptanya suasana kehidupan yang aman, tertib, dan tentram. Maka
dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan
kehakiman guna menegakkan hukum dan keadilan dengan baik.
Salah satu lemabaga untuk menegakkan
hukum dan mencapai keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum adalah
badan badan peradilan sebagaimana yang dimaksud dalam UU Nomor 48 Tahun 2009
tentang kekuasaan kehakiman yang masing masing mempunyai lingkup kewenangan
mengadili perkara atas sengketa dibidang tertentu dan salah satunya adalah
Badan Peradilan Agama.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sejarah peradilan agama di Indonesia ?
2. Bagaimana
prinsip prinsip peradilan agama di Indonesia ?
3. Bagaimana
konsep dasar peradilan agama di Indonesia ?
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Peradilan Agama di Indonesia
Ø Masa
Awal Pemelukan dan kerajaan-Kerajaan Islam
Peradilan di Indonesia sudah ada sejak
abad ke tujuh ataupun kedelapan masehi,sesuai dengan tingkat(tahapan) dan bentuknya
sebagaimana ditentukan oleh hukum islam. Pertumbuhan dan perkembangannya di
Indonesia bersamaan dengan tahapan perkembangan islam dan umatnya, yakni islam
masih dianut oleh orang-orang secara sendiri-sendiri. Tahapan berikutnya,
terbentuknya komunitas masyarakat islam yang sudah teratur di berbagai
wilayah,tetapi belum sampai kepada masyarakat islam yang berpemerintah.
Dalam keadaan islam masih di peluk
sendiri-sendiri, peradilan agama pada saat iti masih berbentuk Tahkim.Sedangkan
dalam komunitas masyarakat yang telah teratur, tetapi belum sampai pada bentuk
masyarakat yang mempunyai pemerintahan, pembentukan dan pengakatan suatu
peradilan dan jabatan hakimnya dapat dilakukan secra musyawarah dan pemilihan
serta bai’at Ahlul Hilli Wal Aqdli.
Perkembangan selanjutnya islam sebagai
agama dan hukum semakin mengakar dan dominan mewarnai seluruh kehidupan sebagai
besar bangsa ini. Kenyataan ini mulai berlaku sejak islam ditetapkan sebagai
agama resmi pada Kerajaan Pasai dan Demak sekitar abad tiga belas dan lima
belas. Dalam keaadaan seperti ini, bentuk perdilannya pun sudah tidak berbentuk
Tahkim seperti pada awal-awal pemelukan islam, melainkan sudah meningkat kepada
bentuk peradilan(Qodla).
Ø Masa
Pemerintahan Kolonial
Ketika Kolonial Belanda mulai memasuki Indonesia
melalui VOC, yakni sebuah wadah dagang yang telah mengarahkan sasarannya untuk
menjelajah Nusantara,tidak dapat menyepelekan eksitensi Hukum Islam yang telah
berakar-akar dilaksanakan oleh masyarakat islam di Indoesia. Meskipun VOC
akhirnya kokoh mencengkram dan bahkan selanjutnya menjajah Nusantara ini, tidak
mampu menekan dan membendung pelaksanaan Hukum Islam yang menjadi keyakinan
hidup.
Campur tangan Pemerintah Kolonial dengan peradilan
Agama(pelaksanaan hukum pedata islam) baru dimulai pada tahun 1802M,
sebagaimana tertuang pada Stbl. 1820 No, 24 pasal 13 yang diperjelas oleh Stbl
1835 no 58
Meskipun
Peradilan Agama tealah diatur secara formal sebagai pengadilan Negara sebagai
halnya pengadilan Gubermen,tetapi pada kenyataanya ia telah didudukan sacara sama. Untuk
peradilan Gubermen, disediakan anggaran secukupnya dan pegawainya pun digaji
oleh Negara, sedangkan Pengadilan agama tidak,kecuali ketuanya.[1]
Ø Masa
sesudah kemerdekaan
Atas usul Depatermen Agama yang disetujui oleh
mentri kehakiman, pemerinta menetapkan bahwa peradilan agama yang selama ini
bernaung dibawah kekuasaan kementrian kehakiman diserahkan kepada kementrian
agama berdasarkan ketetpan pemerintahan No.5/SD tgl 25 maret 1946.[2]
Sederhananya, status da keduduka peradilan agama
dalam UU No.19 tahun 1948 tidak diakui sebagai peradilan yang sah di Indonesia.
Eksitansi badan peradilan selama masa kekuasaan orde lama, faktanya juga belum
mengarah pada bentu yang ideal yakni mandiri dan independen, terbtas dari
intervensi kekuatan politik
seraekstra yudisial lainnya. Sebab, pada saat
itu intervensi kekuasaan lain yakni eksekutif,terhadap lembaga peradilan sangat
kuat,sehingga lembaga peradilan sama sekali tidak memiliki kemandirian yang
independensi
Namun terlepas dari kekurangannya, setidaknya UU No,
7 tahun 1989 telah mengubah paradigma dan pandangan terhadap peradilan agama.
UU No 7 tahun 1989 merupakan starting point peradilan agama untuk menuju era
baru, dimana harkat dan martabatnya dihargai secara proposional sebagai lembaga
penegak hukum dan keadilan. Sejak saat itu, peradilan agama mulai dianggap
sebagai lembaga peradilan yang
sebenarnya.
Meskipun demikian, lahirnya UU NO 3 thun
2006 telah membawa perubahan besar bagi kompetensi peradilan Agama, dalam UU NO
3 tahun 2006tersebut, kompetensi peradilan agama diperluas dengan memasukan
antara lain ekonomi syariah sebagai saah satu kompetensinya, Artinya, UU No 3
tahun 2006 ini menegaskan secara eksplisit bahwa masalah ekonomi sariah telah
menjadi kompetensi absolute peradilan agama.[3]
Ø Masa
Pemerintahan Orde Baru
Pada awal pemerintahan orde baru
tindakan pertama yang harus dilakukan dalam rangka penaataan pelaksanaan
kekeuasaan kehakiman secara murni berdasarkan kehendak UUD 1945, sesuai
ketentuan ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 JO. No XXXIX/MPRS/1968, Pemerinth
bersama-sama DPRGR telah mmenggadakan peninjauan terhadap undang-undang No, 19
tahun 1964, peninjauan ini menginggat undang-undang tersebut tidak mencerminkan
pelaksanaan secara umum.dari pada pancasila dan undang-undang dasar 1945.
Bahkan, isinya banyak yang bertentangan dengannya. Untuk itu, hasil dari
peninjauan tersebut melahirkan undang-undang No. 6 tahun 1969 yang menghendakki
adanya suatu undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman yang baru(penggantinya).sebagai realisasinya, pada tanggal 17
desember 1970 telah dapat disahkan dan diundangkan suatu undang-undang yang
baru tentang hal itu berupa undang-undang No. 14 tahun 1970.
Sejalan dengan meningkatnya pengetahuaan
dan kesadaran hokum masyarakat, kasasi atas perkara-perkara yang diutus oleh
pengadilan agama mulai masuk ke Mahkamah Agung, sementara hokum acara yang
harus dimilikinya tentang hal itu sesuai kehendak pasal 12 undang-undang No 14
tahun 1970 belum ada. Sementara Mentri agama telah mengeluarka keputusan No 6
tahun 1980 pada tanggal 28 Januari 1980.
Berdasarkan kepputusan tersebut, untuk pengadilan tingkat pertama bernama
Pengadilan Agama dan untuk Pengadilan tingkat bandingnya bernama Pengadilan
Tinggi Agama. Dengan demikian, nama-nama Mahkamah Islam Tinggi, kerapatan kadi
dan Kerapatan Kadi Besar maupun Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah di
propinsi sudah tidak digunakan lagi. Dan Pengadilan agama sebagai sallah satu
lingkungan Peradilan dalam jajajran kekuasaan kehakiman di Negara kita, pada
tanggal 27 Maret 1982 presiden Republik Indonesia telah mengangkat seorng ketua
muda Mahkamah Agung urusan lingkungan Peradilan Agama.
Ø Masa
Pemerintahan Reformasi Pembangunan
Sepanjang pemerintahan orde baru, keberadaan
lembaga peradilan agama sebagai satu pelaksana kekuasaan kehakiman(demikian
juga lembaga-lembaga peradilan lainnya), pembinaan dan pengawasannya dilakukan
oleh dua lembaga, yakni Yudikatif dan Eksekutif. Disatu sisi masalah pembinaan
tekhnis dilalukan oleh mahkamah Agung, dan disisi lain masalah Organisasi,
Administrasi dan keungan Badan Peradilan Agama pembinaannya dilakukan oleh
Departemen Agama.
Sejalan dengan derasnya arus reformasi
disegala bidang termasuk tuntutan reformasi bidang kekuasaan kehakiman yang
berakibat mundurnya pemerintahan presiden Soeharto pada tanggal 21 mei 1998 dan
naiknya pemerintahan Presiden Habibie, Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam
sidang istimewanya, melahirkan ketetapan majlis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia ( TAP MPR RI) Nomor X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi
pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional
sebagai haluan Negara.
Pemisahan kekuasaan eksekutif dan
Yudikatif(Departemen agama dari badan peradilan agama), yang diatur/
dikehendaki undang-undang No 35 tahun 1999 tersebut, tidak lain dalam rangka
memantapkan posisi lembaga peradilan agama pada segi hokum foremal dan teknis
peradilan sehingga terwujud kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan
terselenggaranya peradilan yang bebas dari pengaruh dan interfensi kekuasan
eksekutif.
Meskipun demikian, ternyata realisasi
kehendak undang-undang tersebut yakni terlepasnya kekuassan eksekutif atas
badan peradilan agama dan badan –badan peradilan lain dibidang keuangan, organisasi
dan vinancial,bukanlah hal yang mudah yang langsung dapat dilaksanakn dengan
diundangkan, undang-undang tersebut. Akan tetapi, dalam pelakksanaanya terdapat
tarik ulur antara eksekuti dan yudikatif, sehingga sampai penulisan buku ini keadaannya masih tetap seperti
semula.[4]
B.
Konsep
konsep dasar
·
Peradilan
·
Pengadilan
·
Pengadilan Agama
·
Hakim
·
Hukum Acara
Perdata
1. Peradilan
Berasal
dari akar kata ‘adil tidak memikat
tidak berat sebelah. Yaitu proses mengadili atau suaru upaya untuk mencari keadilan
atau penyelesaian sengketa hukum dihadapan badan peradilan menurut peraturan
yang berlaku. Menurut Cik Hasan Bisri pengadilan adalah kekuasaan negara dalam
menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan
(Al- Qadha/Rechtspraak).
Ø Al
Qadha (Bahasa Arab) adalah :
Menyampaikan hukum
syar’i dengan jalan penetapan dan menrupakan kekuasaan mengadili perkara.
Ø Rechtspraak
(Basaha Belanda) adalah :
Daya upaya untuk
mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut
peraturan-peraturan dan dalam lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan.
Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam
(Ps 1 butir 1 UU 7/1989) “Orang-orang” = Orang/Badan Hk yg menundukan diri pd
Hk Islam. Peradilan Agama adalah
salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini (Ps 2 UU 3/2006). Pelaksana Pelaku Perkara perdata tertentu Perkara tertentu Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia (Ps 1 UU No4/2004)
2. Pengadilan
Pengadilan adalah : Suatu lembaga (instansi) tempat
mengadili atau menyelesaikan sengketa hukum di dalam rangka kekuasaan
kehakiman, yang mempunyai kewenangan absolut dan relatif sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang menentukannya
Menurut Cik Hasan Bisri
Pengadilan adalah Badan
peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan
keadilan.
3. Pengadilan
Agama
Pengadilan Agama adalah badan peradilan agama pada
tingkat pertama yang berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kabupaten/kota. Badan peradilan agama tingkat banding adalah
Pengadilan Tinggi Agama yang berkedudukan diibu kota Provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Provinsi ( Pasal I angka 3 UU No. 3 Th 2006).
4. Hakim
Hakim adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk
menyelesaikan dakwaan-dakwaan dan persengketaan.
Hakim adalah pejabat yang
melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman (Ps 11 ayat 1 UU No 7 Th 1989). Hakim pengadilan (UU No. 3 Th 2006)
5. Hukum
Acara Perdata
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum kecuali yang telah diatur secara khusus
dalam undang-undang ini (Ps 54 UU 7/1989). Pada Ps 2 UU 3/2006 tidak disebutkan jenis perkaranya,
hanya disebutkan perkara tertentu.
Hal ini berbeda dengan Ps 2 UU 7/1989 yang menyebutkan jenis perkaranya adalah perkara perdata tertentu.[5]
C.
Prinsip-prinsip
peradilan agama
Negara-negara modern melaksanakan kepentingannya
dengan menggunakan tiga kekuasaan, yaitu :
·
kekuasaan perundang undangan/as-sulthoh at-tasyri’iyyah yang berwenang
membuat undang undang.
·
Kekuasaan eksekutif/as-sulthoh at-tanfidziyyah yang bertugas melaksanakan
undang undang.
·
Kekuasaan
kehakiman/as-sulthoh al-qodlo’iyyah yang berwenang menerapkan undang undang
untuk menyelesaikan perselisihan dan menegakkan keadilan di antara manusia.
Kita
lihat bahwa kekuasaan peradilan/kehakiman itu terpisah dari dua kekuasaan yang
lain. Ini berarti bahwa kedua kekuasaan/lembaga lainnya tidak diperkenankan
mengintervensi/ ikut campur dalam perkara-perkara atau urusan peradilan. Teori
pemisahan kekuasaan ini memunculkan prinsip-prinsip penting dalam peradilan
Islam yang jumlahnya ada delapan (8) yaitu:
1. Istiqlal al-qodlo’ (kemerdekaan kehakiman)
1. Istiqlal al-qodlo’ (kemerdekaan kehakiman)
2. Al-Musawah amamal
qodlo’(kesamaan di hadapan hukum)
3. Majjaniyatul qodlo’
(peradilan gratis)
4. At-taqodli ‘ala
darojatin aw al-isti;naf (upaya hukum naik banding)
5. Al-qodlo’ fil Islam
yaqumu ‘ala nidhomi al-fard (kehakiman Islam menerapkan aturan hakim tunggal)
6.’Alaniyatu majlisil
qodlo’ (sidang peradilan yang terbuka)
7. hushulul ijro’at fi
muwajahatil khushum (mempertemukan pihak yang berselisih)
8. sulthotul qodli fil
fiqhi al-islamiy (kekuasaan kehakiman dalam fikih islam)[6]
PENUTUP
Kesimpulan
1. Sejarah
Peradilan Agama di Indonesia :
Ø Masa
Awal Pemelukan dan kerajaan-Kerajaan Islam
Ø Masa
Pemerintahan Kolonial
Ø Masa
sesudah kemerdekaan
Ø Masa
Pemerintahan Orde Baru
Ø Masa
Pemerintahan Reformasi Pembangunan
2.
Konsep
konsep dasar : Peradilan, Pengadilan, Pengadilan Agama,
Hakim dan Hukum Acara
2.
Prinsip prinsip peradilan agama :
1. Istiqlal al-qodlo’
(kemerdekaan kehakiman)
2. Al-Musawah amamal
qodlo’(kesamaan di hadapan hukum)
3. Majjaniyatul qodlo’
(peradilan gratis)
4. At-taqodli ‘ala
darojatin aw al-isti;naf (upaya hukum naik banding)
5. Al-qodlo’ fil Islam
yaqumu ‘ala nidhomi al-fard (kehakiman Islam
menerapkan aturan hakim tunggal)
6.’Alaniyatu majlisil
qodlo’ (sidang peradilan yang terbuka)
7. hushulul ijro’at fi
muwajahatil khushum (mempertemukan pihak yang berselisih)
8. sulthotul qodli fil
fiqhi al-islamiy (kekuasaan kehakiman dalam fikih islam)
DAFTAR
PUSTAKA
Hamami, Taufik, Kedudukan
dan Eksistansi Peradilan Agama Dalam Sistem Tata hukum di Indonesia,(Bandung:anggota Ikapi,2003)
Halim ,Abdul,
Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia,(Jakarta:Raja
Grafindo Persada,2000)
Hasan, Hasbi, Kompetensi Peadilan Agama
dalam Penyelesaian Perkara Ekonomim Syriah(Jakarta:Gramata
Publising , 2010)
http//:pradiga-konsep-dasar-pradiga-di-indonesia.ppt
peradilandiindonesia.blogspot.co.id/2012/03/prinsip-dan-unsur-peradilan-islam.html?m=1
[1] Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistansi Peradilan Agama Dalam
Sistem Tata hukum di Indonesia,(Bandung:anggota Ikapi,2003)15-22.
[2] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia,(Jakarta:Raja
Grafindo Persada,2000),69
[3] Hasbi Hasan, Kompetensi Peadilan Agama dalam Penyelesaian Perkara
Ekonomim Syriah(Jakarta:Gramata Publising , 2010), 45-69
[4] Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistansi Peradilan Agama Dalam
Sistem Tata hukum di Indonesia,(Bandung:anggota Ikapi,2003), 26
[5]http//:pradiga-konsep-dasar-pradiga-di-indonesia.ppt